Tahun ini usiaku menginjak 22 tahun. Dapat dikatakan sudah memasuki fase dewasa. Satu persatu temanku menikah dengan pasangan mereka masing-masing. Padahal dalam posisiku saat ini, aku sama sekali belum memikirkannya. Beberapa bulan lalu juga sempat cerita-cerita dengan ustadzah SMP-ku, yang intinya beliau bilang kalau aku tipe orang karir yang nggak bakal mikirin pernikahan dekat-dekat ini (that's true tho).
Sebenarnya aku tumbuh di keluarga yang loyal, caring, happy, family oriented type. Nggak ada yang membuatku against marriage. Ketika cerita tentang pernikahan orang tuaku, mereka menikah juga nggak terlalu muda, usia 27 tahun. Dua-duanya bekerja. Biaya pernikahan ditanggung sendiri, bisa cepet beli rumah. Pokoknya bisa dianggap keadaan yang oke lah buat menikah. Tetapi ternyata pernikahan itu nggak seperti orang tuaku aja. Ada yang menikah muda. Bisa jadi memang sudah ada pendapatan, tapi ada juga yang belum. Mungkin masih ditanggung orang tua. Ada yang menikah tua. Bukan karena keinginan, tapi tuntutan. Ada yang menikah, lalu bercerai. Ada yang memilih tidak menikah.
Menurutku banyak banget variabel yang menjadi penentu apakah ini saatnya menikah. Pertama, seseorang harus bisa mengerti dirinya sendiri. Seperti apa aku ini, apa yang aku suka dan tidak suka, bagaimana aku harus bersikap terhadap sesuatu yang tidak aku suka. Jika memutuskan akan menikah, pertanyaannya bertambah lagi tidak hanya tentang "aku". Apa sudah siap hidup as a couple, bagaimana cara mengatasi masalah berdua, dan yang paling penting, apakah aku yakin untuk menikah dengan dia apapun konsekuensinya. Konsekuensi menerima orang lain memasuki hidupnya, konsekuensi jika suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan.
Kedua, keluarga. Menikah bukan cuma tentang dua orang, tetapi dua keluarga. Sering banget baca tentang pernikahan tanpa restu keluarga dan itu berat banget. Bayangkan kalau calon mertua nggak suka sama kita seumur hidup. Dah lah, lebih baik diakhiri sebelum terlanjur menikah.
Ketiga pekerjaan. Keempat penghasilan. Dua hal ini saling berhubungan. Misalkan dua-duanya aslinya bekerja. Ketika sudah menikah, tetap bekerja kah dua-duanya? Jika salah satu, mau suami atau istri yang bekerja. Kalau dua-duanya bekerja, penghasilan pasti lebih banyak, tapi waktu bersama banyak yang hilang. Tapi emang kalau salah satu yang bekerja, penghasilannya cukup? Biaya pernikahan ditanggung orang tua atau sendiri? Cukup nggak? Masih ada uang juga nggak buat tabungan kehidupan. Jangan sampai pesta pernikahan mewah tapi hidup ngutang :( Aku pribadi harus punya pekerjaan dulu sebelum menikah. Jadi punya pengalaman dan kompetensi. Kalau (na'udzubillah) cerai atau ada yang meninggal duluan, aku punya tabungan. Atau bisa cari pekerjaan lagi.
Kelima tempat tinggal. Kata orang tuaku, kalau sudah menikah, secepatnya cari rumah sendiri. Kalau masih tinggal bersama, kepemimpinan tetap ada pada orang tua. Jadi susah untuk bisa mandiri. That's why I should get my own house before getting married.
Keenam, anak. Menurutku punya anak itu hal yang berbeda dari menikah. Bisa jadi seseorang menikah, tapi memutuskan nggak mempunyai anak. Contohnya baru-baru ini aku lihat video Gitasav dan baru tau kalau dia childfree. Menurutnya punya anak itu pilihan. Bener banget, sih. Kenapa orang-orang menuntut pasangan menikah harus punya anak jika ada pilihan mereka bisa punya anak atau tidak. Bagaimana kalau tidak mau, belum merasa mampu, atau alasan lainnya? Punya anak itu butuh tanggung jawab. Jangan sampai anak yang udah dilahirkan, hidupnya menderita gara-gara orang tuanya yang nggak mampu. Tapi aku nggak berani sih stating that I'm childfree. Dan masih banyak lagi variabel lain yang bisa jadi setiap orang berbeda pandangan.
There's someone that makes me think "I don't want to get married". Ada seseorang yang menikah, usianya udah matang banget. Kurang tau sih waktu nikah pekerjaannya apa, tapi beberapa waktu lalu jadi karyawan toko. Lalu karena Covid, jadinya udah nggak kerja lagi. Padahal posisi ada anak 5. Jadi sekarang siapa yang bakal menghidupi mereka? I think they don't have a good marriage management in some aspects. Kenapa mereka berani punya banyak anak padahal penghasilan nggak mencukupi. Tabungan itu penting banget. Tapi sama aja kalau punya tabungan tapi manajemen keluarganya nggak bagus. Oiya satu lagi pelajaran dari ayahku. Jangan ngutang. Kalau nggak punya uang cash/debit ya nggak usah beli. Artinya nggak mampu. Ayahku nggak pernah beli sesuatu ngutang, kecuali rumah. Beli mobil ya seadanya duit bisa dapet apa, yang penting cukup buat sekeluarga. Beli motor second nggakpapa. HP yang penting sesuai kebutuhan.
Aku sudah tau cerita beberapa orang yang menikah, tau juga dari drakor. And I think, menikah itu landasannya bukan cinta. Tapi komitmen. Love can bloom, love can fade. Ketika menikah karena cinta aja, begitu udah nggak cinta ya bubar. Kayak drama yang lagi aku tonton, judulnya "Love ft Marriage and Divorce". Ada pasangan baru 3 tahun menikah. Suaminya selingkuh karena udah nggak cinta. Kayak hah? Yakin nikah cuma secepet ini gara-gara nggak cinta? Ada lagi profesor yang selingkuh gara-gara terlalu lama menikah. Like, wtf?
So, now, I don't want to get married. Until I become successful independent woman. When I can choose my way. Until I'm ready to accept consequences of getting married.